Kamis, 30 September 2010

Perkembangan Institutional Budaya Populer

"Budaya populer dan media massa mempunyai hubungan simbiotik: saling tergantung dalam kolaborasi intim."

— K Turner (1984) [Shuker, Roy (1994). Understanding Popular Music, p.4. ISBN 0-415-10723-7

 

Media massa menggali karya para ilmuwan dan pakar dan menyampaikannya ke publik, sering menekankan unsur-unsur yang sangat menarik atau punya daya yang memukau. Misalnya, panda raksasa (salah satu spesies di hutan terpencil China) menjadi sangat terkenal dalam budaya populer; ia terkenal sebagai pemakan cacing walaupun kepentingan praktis atas pengetahuan itu sama sekali tidak ada. Keduanya, fakta ilmiah dan berita termodifikasi saat disebarkan dengan cara populer, tetapi sering menuju titik yang benar-benar salah.

 

Esai Hannah Arendt pada 1961 "The Crisis in Culture" menyatakan bahwa suatu media yang dikendalikan pasar akan mengakibatkan pergeseran budaya karena didikte entertainment." Susan Sontag berpendapat bahwa dalam budaya kita, yang paling "… dimengerti, bernilai persuasif diambil dari industri hiburan (dan tren ini makin meningkat). Dan, ini merupakan "perongrongan terhadap standar kedalaman pikir." Sebagai hasilnya, topik-topik yang "suam-suam kuku, mengada-ada, dan kejam" menjadi menjadi tolak ukur. Beberapa pakar mengkritik bahwa budaya populer itu "kelas rendahan": "… koran yang dahulu memberitakan berita-berita luar negeri sekarang menulis gosip selebritis, perempuan muda berbaju minim … televisi telah mengganti acara drama yang berkualitas dengan program berkebun, memasak, program-program "gaya hidup" lainnya … "reality" show, dan sinetron-sinetron," untuk menekankan orang-orang secara konstan dibenamkan dalam berbagai pernik budaya selebritis.

 

Dalam buku Rosenberg dan White, Mass Culture, Douglas MacDonald menyatakan bahwa "Budaya populer adalah budaya hina dan remeh yang mengabaikan kedalaman realitas (seks, kemaian, kegagalan, dan tragedi) kenikmatan yang sederhana sekaligus spontan … masyarakat, yang dibujuk dengan beberapa generasi dari berbagai hal tersebut, pada akhirnya malah menginginkan produk-produk budaya yang sepele dan nyaman. Van den Haag berpendapat bahwa "… semua media massa berakhir pada pengasingan manusia dari pengalaman pribadi dan meskipun terlihat untuk mengimbangi itu, malahan meningkatkan isolasi moral di antara manusia, terhadap realitas, dan terhadap diri mereka sendiri."

 

Berbagai kritik meratapi "… penggantian seni adiluhung dan budaya rakyat dengan artefak-artefak diproduksi tanpa selera secara industri pada skala massa untuk memuaskan selera umum." "Budaya ini muncul setelah Perang Dunia Kedua dan telah menjadi pemimpin pada konsentrasi kekuatan budaya massa dalam konglomerat media global yang lebih besar." Media massa populer telah menurunkan jumlah berita atau informasi dan diganti dengan entertainment atau hal-hal sensasional yang mendukung " … ketakutan, prasangka, proses pengkambinghitaman, paranoia, dan kekerasan."

Jumat, 24 September 2010

Definisi Budaya Populer

Mendefinisikan "budaya" dan "populer", yang pada dasarnya adalah konsep yang masih diperdebatkan, sangat rumit. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, membahas enam definisi. Definisi kuantitatif, suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya "luhur" (Misalnya: festival-festival kesenian daerah) jauh lebih disukai. "Budaya pop" juga didefinisikan sebagai sesuatu yang "diabaikan" saat kita telah memutuskan yang disebut "budaya luhur". Namun, banyak karya yang melompati atau melanggar batas-batas ini misalnya Shakespeare, Dickens, Puccini-Verdi-Pavarotti-Nessun Dorma. Storey menekankan pada kekuatan dan relasi yang menopang perbedaan-perbedaan tersebut seperti misalnya sistem pendidikan.

 

Definisi ketiga menyamakan budaya pop dengan Budaya Massa. Hal ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa. Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat dianggap sebagai budaya Amerika. Atau, "budaya pop" dapat didefinisikan sebagai budaya "autentik" masyarakat. Namun, definisi ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan "masyarakat". Storey berpendapat bahwa ada dimensi politik pada budaya populer; teori neo-Gramscian "… melihat budaya pop sebagai tempat perjuangan antara 'resistansi' dari kelompok subordinat dalam masyarakat dan kekuatan 'persatuan' yang beroperasi dalam kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat." Suatu pendekatan postmodernism pada budaya populer "tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya luhur dan budaya populer."

 

Storey menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi "budaya massa". Penelitian terhadap Shakespeare (oleh Weimann atau Barber Bristol, misalnya) menemukan banyak vitalitas karakteristik pada drama-drama Shakespeare dalam partisipasinya terhadap budaya populer Renaissance. Sedangkan, praktisi kontemporer, misalnya Dario Fo dan John McGrath, menggunakan budaya populer dalam rasa Gramscian yang meliputi tradisi masyarakat kebanyakan (Ludruk misalnya).

 

Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu subkultur, yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop mainstream begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat.

Jumat, 17 September 2010

Budaya Populer

Budaya populer (biasa disingkat sebagai budaya pop—dalam bahasa Inggris popular culture atau disingkat pop culture) adalah gaya, style, ide, perspektif, dan sikap yang benar-benar berbeda dengan budaya arus utama 'mainstream' (yang preferensinya dipertimbangkan di antara konsensus informal). Banyak dipengaruhi oleh media massa (setidaknya sejak awal abad ke-20) dan dihidupkan terus-menerus oleh berbagai budaya bahasa setempat, kumpulan ide tersebut menembus dalam keseharian masyarakat. Budaya populer sering dipandang sepele dan "tidak intelek" jika dibandingkan dengan apa yang disetujui sebagai budaya arus utama. Sebagai hasil dari persepsi ini, budaya pop mendapat banyak kritikan dari berbagai sumber ilmiah dan budaya mainstream (biasanya dari kelompok-kelompok religi dan countercultural) yang menganggap budaya pop superficial (palsu), konsumeris, sensasionalis, dan tak bermoral.

 

Sikap ini tercermin dalam preferensi dan penerimaan atau penolakan terhadap berbagai fitur dalam berbagai subjek, misalnya masakan, pakaian, konsumsi, dan banyak aspek entertainment seperti olahraga, musik, film, dan buku-buku. Budaya populer sering bertolak belakang dengan "budaya tinggi" (budaya luhur, budaya adiluhung) yang merupakan budaya kaum penguasa. Juga ditentangkan dengan budaya rendah atau rakyat dari kelas akar rumput.

 

Awal mula penggunaan kata "popular" dalam bahasa Inggris adalah pada abad kelima belas dalam hukum dan politik, yang berarti rendah "rendah", "dasar", "vulgar", dan "masyarakat kebanyakan"; sejak akhir abad kedelapan belas, popular berarti "luas" dan mendapatkan arti konotasi yang positif (William, 1985). Kata "Culture" di kalangan pengguna bahasa Inggris, sejak tahun 1950-an digunakan untuk mengacu pada berbagai kelompok masyarakat, dengan penekanan pada perbedaan budaya.